Sabtu, 30 Juli 2011

APA KONSEP ANDA TENTANG BEKERJA?



Suatu malam, saya diantar seorang teman dengan sepeda motor ke sebuah ATM.
ATM ini berada di sebuah kompleks pertokoan yang
tidak jauh dari rumah saya.
Karena sudah larut malam, lapangan parkir
perkantoran itu kosong.  Saya masuk ke ATM
sementara teman saya menunggu di atas sepeda motor.


Setelah saya mengambil uang tunai dan bersiap-siap untuk
meninggalkan kompleks itu, seorang anak muda menghampiri
kami. Dia minta uang parkir. Saya agak kesal. Untuk apa dia minta
uang parkir? Lapangan parkir kosong sementara sepeda motor
ditunggui teman saya. Sama sekali tidak ada jasa yang diberikan
si anak muda ini.

Tapi, tentu saja saya tidak berani bikin gara-gara hanya karena
uang Rp1.000. Meski begitu, saya tetap penasaran. Apa yang
membuat dia merasa berhak untuk memungut uang? Sambil
tersenyum dan menyerahkan uang ke tangannya, saya bertanya,
”Sudah malam dan sepi begini, mengapa kami masih ditagih
uang parkir?” Dia menjawab, ”Kalau tidak dapat uang parkir, saya
tidak makan . . .”

Di rumah, saya termenung. Memang benar, saat ini ada banyak
sekali orang yang menganggur. Apakah benar pengangguran
sepenuhnya disebabkan kesempatan kerja yang makin sempit?
Kalau ingin mendapatkan uang untuk makan, bukankah orang
harus berusaha. Bukankah Tuhan sudah menjanjikan, rezeki akan
datang kalau manusia mau berusaha?

Konsep Bekerja
Belakangan ini saya sering berpikir untuk melakukan penelitian
mengenai konsep ”bekerja” dan ”berusaha” di kalangan masyarakat.
Apakah mengamen di warung-warung di sepanjang Jalan
Sabang, misalnya, bisa dianggap bekerja?

Herbert Applebaum, seorang antropolog, menawarkan
defi nisi bekerja: ”Bekerja adalah suatu aktivitas produktif yang
mengakibatkan perubahan fi sik dan sosial pada lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.”

”Kalau tidak ada uang parkir, saya tidak makan,” kata anak muda
di ATM tadi. Lalu, apakah dengan demikian dia berhak memungut
uang parkir meski tidak ada kebutuhan kami yang dipenuhinya?

Orang bisa berkilah, setidak-tidaknya dia telah memberikan
rasa aman kepada kami. Tapi, bukankah ancaman terhadap rasa
aman kami justru berasal dari kehadirannya di tempat yang sepi
dan gelap itu?

Ada satu hal yang tampaknya perlu diajarkan pada masyarakat,
terlepas dari agama yang dianut, yaitu konsep ”bekerja” dan
”berusaha” yang benar. Rasanya, konsep yang benar adalah
bahwa kita hanya berhak mengharapkan imbalan bila kita telah
memberikan nilai tambah pada mereka yang telah menikmati hasil
jerih payah kita.

Dulu, ketika Pasar Melawai di Blok M, Jakarta, belum
terbakar, ada seorang pengamen yang menjadi favorit saya
setiap kali saya makan siang di salah satu restoran Padang
di sana. Dia pandai bermain gitar dengan irama keroncong
yang manis, suara nya lumayan dan lagu-lagu yang dibawakannya
sungguh meng asyikkan. Saya selalu memberinya
uang, karena ada sesuatu yang bernilai yang dilakukannya
buat saya.

Tapi, anak muda di tempat parkir tadi atau pengamen yang
hanya bermodal rebana tetapi tidak akan berhenti merecoki
kita sampai kita memberinya uang, atau Pak Ogah yang justru
menghambat mobil kita ketika hendak berbelok sewaktu lalu
lintas pas sedang sepi, atau siapapun yang melakukan hal
semacam itu, tidak akan pernah menikmati uang yang saya
berikan dengan penuh keikhlasan.

Prinsip ”bekerja” seperti di atas seharusnya juga berlaku
bagi setiap profesional, termasuk profesional di bidang
teknologi informasi. Sama seperti pengamen favorit saya di
pasar Blok M itu, seorang profesional sejati barulah berhak
mendapat imbalan bila dia telah memberikan nilai tambah
bagi kliennya.

Sebaliknya seorang profesional juga harus memiliki integritas
yang tinggi. Dia tidak boleh ragu-ragu menolak proyek yang
berada di luar lingkup keahliannya. Soalnya, bila dia gagal
memenuhi kebutuhan klien, sesungguhnya dia tidak berhak
mengajukan invoice-nya.

Profesional sejati barulah berhak mendapat imbalan bila dia telah memberikan nilai tambah.(zatni@cbn.net.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar